Senin, 11 Agustus 2014

abahku, aku mencintaimu


Abahku, M. Ischaq (19-08-1941)
Abahku adalah anak pertama dari 9 bersaudara, sejak di usianya yang sangat muda, beliau harus menjadi tulang punggung keluarganya karena mbah Abdurrahman telah meninggal dunia. Bekerja serabutan kesana-kemari menjual berbagai barang yang bisa beliau jual. Abahku adalah sosok yang tangguh, sabar, hebat, ramah, gigih, santun.  Beliau sanggup menafkahi adik-adiknya hingga lulus perguruan tinggi. Abah dulu saat masih bujang selalu berkelana di berbagai pondok pesantren, hingga akhirnya beliau dipertemukan dengan seorang anak kiai di daerah Lamongan dan mereka dinikahkan, nama calon istri abah adalah Mukarromah, dialah ibu yang telah melahirkanku. Lalu abah membawa ibu ke Bungah, daerah kelahiran abah tinggal bersama mbah Usayyadah dan saudara-saudaranya abah. Ibuku melahirkan 8 orang anak, dan aku adalah anak terakhir. Saat itu, ekonomi keluarga sangatlah serba kekurangan, bagaimana tidak abah belum mendapatkan pekerjaan yang menetap, dan gajinya tidak hanya untuk membiayai hidup keluarganya, tapi juga saudara-saudaranya.
Abahku adalah orang yang tegas dalam mendidik anak-anaknya dalam hal agama, kalau ada yang tidak sesuai, cambuk akan menghampiri. Mungkin karena hidup yang keras dan serba susah, dan mencambuk anak dalam mendidik merupakan hal biasa di zaman dulu. Tapi saat mulai melahirkanku, ekonomi keluargaku mulai membaik, abah tidak setega dulu mencambuk anaknya jika tidak nurut, kakak-kakakku selalu melindungiku jika aku akan dicambuk. Abah sudah berubah sekarang, sedikitpun aku tak pernah melihat beliau marah kepada anak-anaknya, keluarganya, maupun orang-orang disekitarnya. Beliau adalah orang yang sangat bijaksana, banyak orang yang menjadikan abah sebagai tempat curhat tentang berbagai masalah ekonomi, keluarga, cinta, dan masih banyak lagi. Tapi, aku sendiri heran, kenapa aku tidak memiliki keberanian untuk mencurahkan masalahku kepada abah, kakak-kakakku selalu menyarankan untuk curhat ke abah, siapa tahu abah yang lebih tua, lebih berpengalaman, punya solusi yang lebih bijak dari solusi yang kakak-kakakku berikan. Tetapi tetap saja, aku tak berani cerita ke abah. Tapi abah selalu tahu masalahku, meski tak ku ungkapkan. Tiba-tiba abah langsung memberiku ijazah, dan aku cukup bilang “engge abah, insya Allah kula lakoni”.
Abahku juga orang yang sangat istiqamah dalam beribadah. Beliau tak pernah meninggalkan sholat lima waktu, dengan berjamaah dalam keadaan sehat maupun sakit. tak pernah meninggalkan qiyamun lailnya, dan mengaji di keheningan sepertiga malam. Beliau juga bukan orang yang malas, ketika masih muda hingga tua. Selalu ku lihat, setelah melakukan ibadah di sepertiga malamnya, abah selalu menyapu halaman rumah, sambil berdzikir, untuk menunggu adzan shubuh, lalu sholat shubuh berjama’ah. Setelah itu beliau bersepeda dengan sepeda ontelnya yang sangat sederhana di balik kesederhanaannya yang berkharisma. Beliau berkeliling kampung, menyapa orang-orang yang sedang beraktivitas dengan senyuman ramah dan bersahaja. Sesekali beliau berhenti, bertanya kabar atau sedikit basa-basi. Kalau dulu, setelah keliling kampung, abah pergi kesawah, bertani. Lalu sekitar jam sepuluh, beliau pulang melaksanakan sholat dhuha. Terkadang ada orang yang menjemput beliau untuk melakukan pengajian. Kepulangan abah selalu dinanti-nanti anaknya, membawa berkat.
Setiap ku lihat wajah beliau, yang semakin tua, dan penyakit beliau di usia yang sudah lagi tak muda. Sosok yang sangat aku hormati, yang selalu ingin aku teladani. Abah, maafkan anakmu yang banyak dosa ini, banyak kurang, dan belum bisa membahagiakan engkau.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Mengharap Ampunan-Mu Copyright © 2009 Flower Garden is Designed by Ipietoon for Gossip Celebrity Flower Image by Dapino