Abahku, M. Ischaq (19-08-1941)
Abahku adalah
anak pertama dari 9 bersaudara, sejak di usianya yang sangat muda, beliau harus
menjadi tulang punggung keluarganya karena mbah Abdurrahman telah meninggal
dunia. Bekerja serabutan kesana-kemari menjual berbagai barang yang bisa beliau
jual. Abahku adalah sosok yang tangguh, sabar, hebat, ramah, gigih,
santun. Beliau sanggup menafkahi
adik-adiknya hingga lulus perguruan tinggi. Abah dulu saat masih bujang selalu
berkelana di berbagai pondok pesantren, hingga akhirnya beliau dipertemukan
dengan seorang anak kiai di daerah Lamongan dan mereka dinikahkan, nama calon
istri abah adalah Mukarromah, dialah ibu yang telah melahirkanku. Lalu abah
membawa ibu ke Bungah, daerah kelahiran abah tinggal bersama mbah Usayyadah dan
saudara-saudaranya abah. Ibuku melahirkan 8 orang anak, dan aku adalah anak
terakhir. Saat itu, ekonomi keluarga sangatlah serba kekurangan, bagaimana
tidak abah belum mendapatkan pekerjaan yang menetap, dan gajinya tidak hanya
untuk membiayai hidup keluarganya, tapi juga saudara-saudaranya.
Abahku adalah
orang yang tegas dalam mendidik anak-anaknya dalam hal agama, kalau ada yang
tidak sesuai, cambuk akan menghampiri. Mungkin karena hidup yang keras dan
serba susah, dan mencambuk anak dalam mendidik merupakan hal biasa di zaman
dulu. Tapi saat mulai melahirkanku, ekonomi keluargaku mulai membaik, abah
tidak setega dulu mencambuk anaknya jika tidak nurut, kakak-kakakku selalu
melindungiku jika aku akan dicambuk. Abah sudah berubah sekarang, sedikitpun aku
tak pernah melihat beliau marah kepada anak-anaknya, keluarganya, maupun
orang-orang disekitarnya. Beliau adalah orang yang sangat bijaksana, banyak
orang yang menjadikan abah sebagai tempat curhat tentang berbagai masalah
ekonomi, keluarga, cinta, dan masih banyak lagi. Tapi, aku sendiri heran,
kenapa aku tidak memiliki keberanian untuk mencurahkan masalahku kepada abah, kakak-kakakku
selalu menyarankan untuk curhat ke abah, siapa tahu abah yang lebih tua, lebih
berpengalaman, punya solusi yang lebih bijak dari solusi yang kakak-kakakku
berikan. Tetapi tetap saja, aku tak berani cerita ke abah. Tapi abah selalu
tahu masalahku, meski tak ku ungkapkan. Tiba-tiba abah langsung memberiku
ijazah, dan aku cukup bilang “engge abah, insya Allah kula lakoni”.
Abahku juga orang
yang sangat istiqamah dalam beribadah. Beliau tak pernah meninggalkan sholat
lima waktu, dengan berjamaah dalam keadaan sehat maupun sakit. tak pernah
meninggalkan qiyamun lailnya, dan mengaji di keheningan sepertiga malam. Beliau
juga bukan orang yang malas, ketika masih muda hingga tua. Selalu ku lihat,
setelah melakukan ibadah di sepertiga malamnya, abah selalu menyapu halaman
rumah, sambil berdzikir, untuk menunggu adzan shubuh, lalu sholat shubuh
berjama’ah. Setelah itu beliau bersepeda dengan sepeda ontelnya yang sangat
sederhana di balik kesederhanaannya yang berkharisma. Beliau berkeliling
kampung, menyapa orang-orang yang sedang beraktivitas dengan senyuman ramah dan
bersahaja. Sesekali beliau berhenti, bertanya kabar atau sedikit basa-basi.
Kalau dulu, setelah keliling kampung, abah pergi kesawah, bertani. Lalu sekitar
jam sepuluh, beliau pulang melaksanakan sholat dhuha. Terkadang ada orang yang
menjemput beliau untuk melakukan pengajian. Kepulangan abah selalu
dinanti-nanti anaknya, membawa berkat.
Setiap ku lihat wajah beliau, yang semakin tua, dan
penyakit beliau di usia yang sudah lagi tak muda. Sosok yang sangat aku
hormati, yang selalu ingin aku teladani. Abah, maafkan anakmu yang banyak dosa
ini, banyak kurang, dan belum bisa membahagiakan engkau.
0 komentar:
Posting Komentar