Puasa Wajib dan
Puasa Sunnah
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Fiqih MI 1
Disusun oleh
kelompok 6:
Kelas 3 A
1.
Hanik Hamdiyah (D07213014)
2.
Laili Umi Farihah (D07214009)
3.
Fathul Alim (D07214031)
4.
Mirna Anisa (D07214010)
Dosen pengampu:
Irfan Bachtiar,
M.Pd.I
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU
MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, pada saat ini, sampai dengan kesempatan ini tiada
kata yang pantas terucap, tiada kalimat yang patut terungkap, selain untaian
persembahan syukur Puja Allah SWT, Tuhan Seluruh Alam yang telah memberikan begitu banyak limpahan rahmat, anugerah
dan karunia-Nya yang begitu luar biasa kepada kita sehungga kami masih bisa
menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam senantiasa kita senandungkan dengan syahdunya
kepada sang pembawa risalah indah ini, Rasulullah SAW. Serta kita selaku
umatnya yang InsyaAllah setia hingga akhir zaman. Amin.
Dalam makalah ini, kami membahas tentang “Puasa Wajib dan Puasa
Sunnah”. Kami sadari bahwa dalam makalah ini banyak terdapat kesalahan, baik
dari isi maupun dalam hal penyampaiannya. Untuk itu kami memohon maaf dan
maklum serta selalu mengharapkan segala kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca yang budiman serta dosen pembimbing yang bijak.
Akhir kata, semoga tulisan yang sederhana ini bisa bermanfaat,
khususnya bagi kami dan umumnya bagi rekan-rekan semua dan semoga dapat
menambah khazanah keilmuan kita. Amin.
Tim Penyusun,
DAFTAR ISI
COVER.............................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................................. 1
A. Latar Belakang...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................. 1
C. Tujuan.................................................................................................................... 1
BAB II PUASA
WAJIB DAN PUASA SUNNAH........................................................ 2
A.
Pengertian
Puasa................................................................................................ 2
B.
Hukum
Puasa..................................................................................................... 2
C.
Rukun
dan Syarat Puasa.................................................................................... 3
D.
Yang
Membatalkan Puasa................................................................................. 6
E.
Macam-macam
Puasa Wajib dan Puasa Sunnah................................................ 6
F.
Hikmah
Puasa.................................................................................................... 8
BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 10
A.
Simpulan................................................................................................................ 10
B.
Saran...................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Puasa merupakan
salah satu aktivitas peribadatan yang cukup berat terutama bagi orang yang
masih lemah imannya. Dalam seharian penuh, orang yang berpuasa harus menahan
lapar dan dahaga, padahal harus bekerja, melakukan kegiatan yang menguras
tenaga dan pikiran untuk mendapat rezeki maupun ilmu bagi para pelajar atau
mahasiswa. Itulah keluhan-keluhan yang sering dilontarkan orang-orang yang
masih lemah iman, karena mereka mencari-cari alasan untuk menoleknya, berbeda
dengan orang yang tingkat keimanannya tinggi. Orang-orang yang beriman akan
berusaha sekuat tenaga dan sebaik mungkin melaksanakan puasa dan menjaga
dirinya dari segala yang bisa membatalkan, mengurangi, maupun menghapus pahala
puasa. Mereka akan berusaha menemukan hikmahnya, karena mereka yakin bahwa
setiap perintah yang bersumber dari Allah pasti mengandung kebaikan bagi
kehidupan.
Oleh karena
itu, sebagai orang Islam dan tentu ingin masuk dalam golongan orang-orang yang
beriman, harus memahami betul apa saja hal yang harus diketahui dalam
melaksanakan ibadah puasa seperti maknanya, macam-macamnya, syarat dan
rukunnya, hal-hal yang membatalkan, maupun hikmah dari puasa.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian puasa?
2. Bagaimana hukum puasa?
3. Apa saja rukun dan syarat puasa,yang membatalkan puasa,macam-macan
puasa wajib dan puasa sunnah.
4. Apa saja hikmah dari puasa?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian puasa, puasa wajib, dan puasa sunnah.
2.
Untuk
mengetahui hukum puasa.
3.
Untuk
mengetahui rukun dan syarat puasa,yang membatalkan puasa,macam-macan puasa
wajib dan puasa sunnah
4.
Untuk
mengetahui hikmah dari puasa.
BAB II
PUASA WAJIB DAN PUASA SUNNAH
A.
Pengertian Puasa
Puasa dalam bahasa arab disebut al-shaum yang berarti
menahan (imsak). Secara terminologis puasa diartikan sebagai suatu ibadah yang
diperintahkan Allah yang dilaksanakan dengan cara menahan makan dan minum dan
hubungan seksual dari pagi hari (terbit fajar) sampai sore (terbenam matahari).
Muhammad Ibnu Ismail Al-Kahlani mendefinisikan puasa dengan menahan diri dari
makan, minum, dan hubungan seksual dan lain-lain yang telah diperintahkan
menahan diri dari padanya sepanjang menurut cara yang telah ditentukan oleh
syara’.[1]
Puasa dalam arti menahan diri dari segala yang membatalkan dan
merusak nilai puasa menurut Imam Al-Ghazali dibagi tiga tingkatan yaitu puasa
umum, puasa khusus, dan puasa khusush al-khowash. Yang dimaksud puasa umum
ialah puasa dengan hanya menahan diri dari makan dan minum serta hubungan
seksual. Puasa khusus adalah disamping pengertian puasa umum di atas ditambah
menahan diri dari perkataan, pandangan, penglihatan, dan perbuatan anggota
tubuh yang cenderung kepada yang tidak baik. Adapun puasa khusuh al-khowash
disamping pengertian kedua tingkatan puasa di atas ditambah dengan puasa hati
atau menahan hati dari segala keinginan dan pemikiran keduniaan.
Puasa wajib adalah puasa yang apabila dikerjakan akan mendapat
pahala, dan jika ditinggalkan akan mendapat dosa. Sedangkan puasa sunnah adalah puasa yang
apabila dikerjakan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
B.
Hukum Puasa
Sebelum Puasa
Ramadhan diwajibkan, Rasulullah telah menjalankan puasa Asyura. Ketika itu
beliau juga memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakannya. Selain itu
Rasulullah telah membiasakan untuk berpuasa sebanyak 3 hari di setiap bulan,
mulai dari sesampainya hijrah di Madinah hingga Allah mewajibkan puasa Ramadhan
kepada Umat Islam, dan temasuk Rukun Islam yang ke empat.[2]
Para ahli fiqih
telah sepakat menetapkan bahwa puasa dalam bulan Ramadhan hukumnya wajib.
Kewajiban puasa pada bulan Ramadhan ditetapkan berdasarkan al-Qur’an, sunnah,
dan Ijma’.
Adapun dasar al-Qur’an
adalah firman Allah SWT:
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Sedangkan dasar
ijma’ adalah bahwa umat Islam telah sepakat atas wajibnya puasa pada bulan
Ramadhan dan puasa dimaksud merupakan salah satu rukun Islam.
C.
Syarat dan Rukun Puasa
a.)
Syarat Wajib Puasa
Para ahli fiqih
telah menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang agar dia wajib
melaksanakan puasa sebagai berikut[3]:
1.
Beragama
Islam.
2.
Baligh
dan berakal. Baligh mengandung arti bahwa anak kecil tidak diwajibkan berpuasa.
Namun, menurut madzhab Syafi’i, Hambali, dan Hanafi puasa anak kecil yang telah
mumayyiz dipandang sah dan pahalanya untuk dia sendiri dan orang tuanya.
Sedangkan berakal mengandung arti bahwa orang gila tidak diwajibkan berpuasa.
Sabda Rasulullah:
Dan diangkat
pena (tidak terkena hukum) tiga golongan orang: orang tidur hingga ia bangun,
orang gila hingga ia sembuh, dan anak-anak hingga ia bermimpi (baligh). HR.
Abu Dawud dan Nasa’i).
3.
Kuat
berpuasa (al-qadir) dan sedang menetap di daerah tempat tinggalnya (muqim).
Orang yang tidak kuat dan sedang dalam perjalanan tidak dituntut puasa, namun
wajib menggantinya pada hari-hari yang lain. sebagaimana firman Allah SWT surat
Al baqarah ayat 184:
$YB$r& ;Nºyrß÷è¨B 4 `yJsù c%x. Nä3ZÏB $³ÒÍ£D ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 4 n?tãur úïÏ%©!$# ¼çmtRqà)ÏÜã ×ptôÏù ãP$yèsÛ &ûüÅ3ó¡ÏB ( `yJsù tí§qsÜs? #Zöyz uqßgsù ×öyz ¼ã&©! 4 br&ur (#qãBqÝÁs? ×öyz öNà6©9 ( bÎ) óOçFZä. tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÍÈ
“ (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa
diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Itulah yang
lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.”
b.) Syarat
Sah Puasa
Syarat-syarat sah puasa yang disepakati oleh ahli fiqih diantaranya[4]:
1. Islam
2. Mumayyiz,
yaitu dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.
3. Suci
dari haidl dan nifas.
4. Pada
waktu yang diperbolehkan puasa.
c.)
Rukun Puasa
Rukun Puasa adalah
sebagai berikut:[5]
1. Niat. Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya
sahnya amal itu tergantung pada niat dan tiap-tiap orang itu akan memperoleh
apa yang diniatkan (HR. Bukhari
dan Muslim).
Menurut
Imam Rafi’i, disunanahkan mengucapkan niat dengan lisan utuk membantu hati.
Niat tidak cukup hanya lisan, tetapi harus diiringi dengan hati. Pada puasa
Ramadhan atau nadzar, niat harus diucapkan pada malam hari, dan wajib
ditentukan jenis puasanya. Rasulullah Saw bersabda:
“Orang
yang tidak mengucapkan niat sebelum fajar, tidak ada puasa baginya.”
2. Menahan diri dari makan dan minum, sekalipun jumlahnya sedikit.
Jika makan atau minum karena lupa atau tidak tahu, seperti baru masuk Islam
atau hidup di daerah yang jauh dari ulama, maka puasa orang tersebut tidak
batal. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa
yang berpuasa, lalu makan atau minum karena lupa maka sempurnakanlah puasanya
karena Allah yang memberi makan dan minum orang tersebut.”(syarah
Bajuri I: 289).
3. Tidak berjima’ dengan sengaja.
4. Tidak muntah dengan sengaja.
D.
Yang Membatalkan Puasa
Hal-hal yang
membatalkan puasa ada dua jenis, yaitu[6]:
1.
Yang
membatalkan puasa dan yang wajib mengqadhanya tanpa ada kafarat, terdiri atas
beberapa macam diantaranya:
a.)
Makan
dan minum dengan sengaja.
b.)
Ada sesuatu yang masuk ke dalam jauf (lubang) yang terbuka.
c.)
Disuntik pada lubang kubul atau dubur.[7]
d.)
Muntah dengan sengaja, hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW:
Dari
Abu Hurairah ra. Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang muntah dengan
tidak sengaja tidak wajib mengqadha’ puasanya. Dan siapa yang sengaja muntah
maka hendaklah ia mengqadha puasanya (HR.
Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Ibn Majah, dan Ibn Hibban).
e.)
Haidl atau Nifas
f.)
Istimna’, yang dimaksud ismimna’ adalah sengaja bersenang-senang
mengeluarkan air sperma, mencium istri, memandang aurat lawan jenis, ataupun
menghayal melakukan hubungan seksual.
g.)
Kedatangan penyakit gila ketika sedang melakukan puasa.
h.)
Murtad
2.
Yang
membatalkan puasa dan yang wajib mengqadhanya serta membayar kafarat. Menurut
Jumhur Fuqaha hanya satu, yaitu bersetubuh dengan sengaja di siang hari Bulan
Ramadhan.
E.
Macam-macam Puasa Wajib dan Puasa Sunnah
1.
Macam-macam
Puasa Wajib[8]
a.)
Puasa
yang wajib karena datangnya waktu tertentu yaitu puasa bulan Ramadhan
b.)
Puasa
yang wajib karena suatu ‘illat (sebab), yaitu puasa kafarat
c.)
Puasa
yang wajib karena diwajibkan oleh seseorang atas dirinya, yaitu puasa nadzar
Puasa wajib ditinjau dari segi waktu melaksanakannya terbagi
menjadi dua:[9]
a.)
Puasa
wajib muthlaq, yaitu puasa yang diruntut oleh syara’ mengerjakannya tetapi
tidak dijelaskan waktu pelaksanaannya. Yaitu puasa kafarat dan puasa nadzar.
b.)
Puasa
wajib muwaqat, yaitu puasa yang dituntut oleh syara’ mengerjakannya serta
ditentukan waktu pelaksanaannya. Seperti puasa Ramadhan.
Puasa wajib
muwaqat dalam pelaksanaannya adakalanya dalam bentuk:
1.)
Ada’, ialah suatu kewajiban dilakukan seorang mukallaf, tepat pada
waktunya disertai rukun dan syaratnya.
2.)
Qadla’an,
ialah apabila suatu kewajiban dilakukan diluar waktu yang telah
ditentukan.
2.
Macam-macam
Puasa Sunnah
Puasa-puasa sunnah yang disepakati
para Ulama’ antara lain[10]:
a.)
Puasa
sehari dan tidak puasa sehari, yaitu puasa Daud yang merupakan puasa yang
paling utama. sebagimana hadits Rasulullah:
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى صَلَاةُ دَاوُدَ كَانَ يَنَامُ نِصْفَهُ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا وَيَصُومُ يَوْمًا
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadaku (Amr nin Aus): "Puasa yang paling Allah ta'ala senangi adalah puasa Daud, dan shalat yang Allah ta'ala senangi adalah shalat Daud, ia tidur setengahnya dan melakukan shalat sepertiganya, dan tidur seperenamnya, dan beliau berbuka satu hari dan berpuasa satu hari."(HR. Abu Daud).
b.)
Puasa
tiga hari setiap bulan lebih utama puasa ini dikerjakan pada hari-hari putih
yakni pada hari-hari yang malamnya terang bulan, yaitu tanggal 13, 14, dan 15. Tapi
bila dilaksanakan pada selain hari-hari
tersebut dipandang sah. Nabi saw. Bersada:
وَقَالَ لِلْأَعْرَابِيِّ كُلْ قَالَ إِنِّي صَائِمٌ قَالَ صَوْمُ مَاذَا قَالَ صَوْمُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ الشَّهْرِ قَالَ إِنْ كُنْتَ صَائِمًا فَعَلَيْكَ بِالْغُرِّ الْبِيضِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
Dan juga beliau berkata kepada orang badui: 'makanlah' dia berkata; 'Aku sedang puasa.' Beliau bertanya: 'Puasa apa? ' dia menjawab; 'Puasa tiga hari dalam sebulan. Beliau bersabda: "Apabila kamu berpuasa, berpuasalah pada hari-hari Bidl yaitu tanggal 13, 14, dan 15." (HR. Nasa’i).
c.)
Puasa
hari senin dan kamis setiap minggu. Sebagaimana dianjurkan nabi dalam sabdanya:
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ هُنَيْدَةَ الْخُزَاعِيِّ عَنْ
أُمِّهِ قَالَتْ
دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ فَسَأَلْتُهَا عَنْ الصِّيَامِ فَقَالَتْ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنِي أَنْ أَصُومَ
ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلُهَا الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail, telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin 'Ubaidullah dari Hunaidah Al Khuza'i, dari ibunya, ia berkata; aku menemui Ummu Salamah, kemudian bertanya kepadanya mengenai puasa. Lalu ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkanku agar berpuasa tiga hari setiap bulan, yang pertama adalah puasa Senin dan Kamis. (H.R. Abu Daud.)
d.)
Puasa
enam hari bulan syawal. Puasa inii di syariatkan berdasarkan hadits Nabi SAW
berikut:
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ صَاحِبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ
dari Abu Ayyub sahabat nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau berkata: "Barangsiapa yang melakukan puasa pada Bulan Ramadhan kemudian ia ikutkan dengan puasa enam hari pada Bulan Syawal, maka seolah-olah ia berpuasa satu tahun."(HR. Abu Daud).
e.)
Puasa
hari Arafah (9 Dzulhijjah) bagi yang tidak sedang haji, sedangkan bagi orang
yang haji puasa itu tidak disunnahkan[11],
sebagaimana hadits berikut:
Dari Abu
Qatadah, Nabi saw bersabda: “ tidalah hari yang paling banyak Allah membebaskan
hamba-Nya dari api neraka selain hari Arafah. (HR.
Muslim).
f.)
Puasa
pada hari ‘Asyura (10 Muharram), sesuai dengan hadits Nabi saw berikut:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي يَزِيدَ مُنْذُ سَبْعِينَ سَنَةً قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ
مَا عَلِمْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَ يَوْمًا يَتَحَرَّى فَضْلَهُ عَلَى الْأَيَّامِ غَيْرَ يَوْمِ عَاشُورَاءَ وَقَالَ سُفْيَانُ مَرَّةً أُخْرَى إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَعْنِي عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ شَهْرَ رَمَضَانَ
Telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata; telah mengabarkan kepadaku 'Ubaidullah bin Abu Yazid sejak tujuh puluh tahun lalu, berkata; saya mendengar Ibnu Abbas berkata; "Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari tertentu dengan mengkhususkan keutamaannya dari hari-hari yang lain selain hari Asyura`." Sufyan pada lain kesempatan berkata; "Kecuali hari ini, yaitu hari Asyura` dan bulan ini, yaitu bulan Ramadhan."(HR. Imam Ahmad).
a.)
Puasa Bulan Sya’ban. Dianjurkan puasa pada
hari-hari bulan sya’ban secara penuh, atau setidaknya sebanyak mungkin. Ummu
Salamah meriwayatkan,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَحَرَّى صَوْمَ شَعْبَانَ وَصَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ
dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. sangat menjaga puasa sya'ban, dan puasa senin dan kamis.
“Nabi tidak
pernah berpuasa sebulan penuh dari satu tahun, kecuali pada bulan Sya’ban. Beliau
menyambungnya dengan puasa Ramadhan.” (HR. Abu Daud
dan Nasa’i).[12]
b.)
Puasa
sembilan hari bulan Dzulhijjah sebelum hari Arafah. Bagi orang yang tidak
sedang menunaikan ibadah haji dianjurkan berpuasa selama sembilan haji pada
bulan dzulhijjah. Hal ini sama seperti hadits:
“Tidak hari
dimana amal shaleh yang dilakukan di dalamnya lebih disukai oleh Allah daripada
hari-hari ini”. Maksudnya ialah sembilan hari bulan dzulhijjah. Para sahabat bertanya,
“Rasulullah, tidak pula termasuk jihad pada jalan Allah?” Beliau
bersabda “Tidak pula termasuk jihad pada jalan Allah, kecuali seseorang yang
berangkat dengan mempertaruhkan jiwa dan hartanya, tetapi kemudian ia pulang
tidak membawa apa-apa” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Tirmidzi)[13].
c.)
Puasa
pada bulan-bulan yang terhormat (al-asyhar al-hurum). Yaitu bulan Dzulqa’dah,
Dzulhijjah, Muharram, Rajab. Dalam hal in Nabi saw bersabda:
Dari Abu
Hurairah, sesungguhnya Nabi bersabda: “Shalat yang paling baik setelah shalat
yang diwajibkan adalah shalat tengah malam dan puasa yang lebih baik setelah
bulan Ramadhan ialah puasa bula-bulan terhormat.” (HR.
Muslim).
F.
Hikmah Puasa
1.
Sabar
dan membiasakan penderitaan hidup. Dalam berpuasa kita dituntut untuk banyak
bersabar, dan terbiasa akan rasa haus dan lapar.
2.
Berjiwa
agama. Setiap perbuatan atau perkataan baik rugi maupun untung haruslah lebih
dahulu mempertimbangkan segi agama yaitu bagaimana hukumnya. Sebab selama
berpuasa seseorang haruslah menjaga diri dari sesuatu yang bertentangan dengan
iman.
3.
Mempersiapkan
diri untuk menjadi seorang Muttaqin yaitu mengerjakan perintah
meninggalkan larangan.
4.
Puasa
adalah pernyataan perang dari Allah Swt. Terhadap kebatinan, syahwat, dan nafsu
yang selalu merusak manusia.[14]
5.
Puasa
menguatkan jiwa, yakni manusia sanggup mengalahkan gejolak syahwatnya, dan
dapat menempatkan dirinya mirip dengan kedudukan malaikat.[15]
6.
Puasa
menyehatkan badan. Seperti sabda nabi SAW:
Berpuasalah,
niscaya kamu akan sehat! (HR. Thabrani).
7.
Puasa
melatih kesabaran. Seperti sabda nabi:
Tiap sesuatu
ada zakatnya, dan zakatnya bdan adalah puasa, dan puasa itu separuh kesabaran. (HR. Ibnu Hibban).
8.
Dapat
mengenal nilai kenikmatan yang telah dikaruniakan Allah kepadanya. Seperti
dalam hadits Nabi SAW bersabda:
Pernah tuhanku menawarkan
kepadaku untuk menjadikan lembah Mekkah penuh emas. Aku menjawab: “Tidak, ya
Tuhanku! Akan tetapi aku ingin kenyang sehari dan lapar sehari. Maka aku lapar
dan semakin mendekat dan ingat kepada-Mu”. (HR.
Tirmidzi).
9.
Menumbuhkan
jiwa sosial karena puasa merupakan peringatan bersifat alamiah, betapa derita
kelaparan dan kesengsaraan yang dialami pihak lain.
10.
Mempertebal
perasaan kasih sayang dan memantapkan penyerahan sepenuhnya kepada Allah, karena
berpuasa itu harus menahan lapar, haus, padahal aneka makanan terhampar
dihadapan. Kalaulah bukan kecintaan dan mengaharap ridho Allah, niscaya semua
itu tidak bisa dilaksanakan dengan ikhlas.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
1.
Puasa
dalam bahasa arab disebut al-shaum yang berarti menahan (imsak). Secara
terminologis puasa diartikan sebagai suatu ibadah yang diperintahkan Allah yang
dilaksanakan dengan cara menahan makan dan minum dan hubungan seksual dari pagi
hari (terbit fajar) sampai sore (terbenam matahari).
2.
Para
ahli fiqih telah sepakat menetapkan bahwa puasa dalam bulan Ramadhan hukumnya
wajib. Kewajiban puasa pada bulan Ramadhan ditetapkan berdasarkan al-Qur’an,
sunnah, dan Ijma’.
5. Syarat-syarat sah
puasa yang disepakati oleh ahli fiqih diantaranya: Islam, Mumayyiz, Suci dari
haidl dan nifas, Pada waktu yang diperbolehkan puasa. Rukun Puasa: Niat dan menahan diri dari makan, minum, dan segala
yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari, tidak
berjima’ dengan sengaja, tidak muntah dengan sengaja.
3.
Adapun hikmah puasa
diantarnya: sabar, berjiwa agama, mempersiapkan diri untuk menjadi seorang Muttaqin,
puasa menguatkan jiwa, puasa menyehatkan badan, menumbuhkan jiwa sosial.
B.
Saran
1.
Sebaiknya
setelah mempelajari materi ini, mahasiswa dapat mengaplikasikan materi ini
dalam kehidupan sehari-hari, untuk melatih jiwa maupun raga dalam melawan dan
menjinakkan musuh terbesar dalam diri seorang manusia, yaitu nafsu binatang.
2.
Hikmah
puasa yang sangat luar biasa disetiap jens puasa yang dilakukan ikhlas karena
Allah dan memnuhi rukun maupun syaratnya, seharusnya dapat mendorong kita para
mahasiswa untuk semakin semangat dalam melaksanakan puasa wajib maupun sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,
Slamet dan Moh. Suyono. 1998. Fiqih Ibadah. Bandung. CV. Pustaka Setia.
Al-Ghazali,
Muhammad. 1995. Fathul Qarib.Bandung. Trigenda Karya.
al-Qardlawi, Yusuf. 2001. Ibadah
dalam Islam. Surabaya. PT Bina Ilmu.
Ayyub, Syaikh Hasan Muhammad. 2005. Panduan
Beribadah Khusus Pria. Jakarta. Almahira.
Az-Zuhaili,
Wahbah. 2007. Fiqih Islam wa Adillatuhu 3. Depok. Darul Fikr.
Bakry,
Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqih. Jakarta. PT. Rajawali Press.
Ritonga, Rahman. 1997. Fiqih
Ibadah. Jakarta. Gaya Media Pratama.
Siregar, Syahruddin. 2001. Nasihat
Para Ulama Hikmah Puasa. Jakarta. PT Raja Grafindo.
[1]
Rahman Ritonga, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997),
halaman 151.
[2]
Syaikh Hasan Muhammad Ayyub, Panduan Beribadah Khusus Pria, (Jakarta:
Almahira, 2005), hlm. 551.
[3]
Rahman Ritonga, Fiqih Ibadah, hlm. 157-159.
[4]
Slamet Abidin dan Moh. Suyono, Fiqih Ibadah, (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 1998), hlm. 254.
[5]
Muhammad Al-Ghazali, Fathul Qarib, (Bandung: Trigenda Karya, 1995), hlm.
142-143.
[6]
Slamet Abidin dan Moh. Suyono, Fiqih Ibadah, hlm. 160-163.
[7]
Muhammad Al-Ghazali, Fathul Qarib,hlm. 143-144.
[8]
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu 3, (Depok: Darul Fikr,
2007), hlm. 39.
[9]
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Rajawali Press, 1993),
hlm, 151.
[10]
Rahman Ritonga, Fiqih Ibadah , hlm. 164-167
[11]
Ibid., hlm. 167.
[12]
Syaikh Hasan Muhammad Ayyub, Panduan Beribadah Khusus Pria, (Jakarta: Almahira,
2005), hlm. 579.
[13]
Ibid., hlm. 577.
[14]
Syahruddin Siregar, Nasihat Para Ulama Hikmah Puasa, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2001), hlm. 6.
[15]
Yusuf al Qardlawi, Ibadah dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2001), hlm.
508-520.
0 komentar:
Posting Komentar