Rabu, 30 Desember 2015

SEJARAH DAN PERTUMBUHAN SASTRA INDONESIA


SEJARAH DAN PERTUMBUHAN SASTRA INDONESIA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Bahasa Indonesia II


Disusun oleh kelompok 1:
Kelas 3-A
1.      Hanik Hamdiyah            (D07213014)
2.      Alfiyatul Khikmah         (D07214001)
3.      Miftahul Ilmiyah            (D77214038)

Dosen Pengampu:
Irfan Bachtiar, M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Kepulauan Nusantara dihuni oleh beratus-ratus suku bangsa, yang tentunya mempunyai sejarah, kebudayaan, adat-istiadat, dan bahasa khasnya masing-masing daerah. Pada abad ke-16 dan ke-17 kepulauan nusantara menjadi jajahan bangsa Eropa yang berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan timbulnya perlawanan-perlawanan terhadap penjajah karena merasa menjadi hamba di tanah air sendiri. Hal ini menumbuhkan api nasionalisme dengan menghilangkan segala perbedaan yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah yang dinamai Sumpah Pemuda.
Pada abad ke-20 muncul kebijakan Belanda bernama politik etis yang hendak menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai reaksi terhadap cita-cita itu, Indonesia kian giat memperjuangkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Para pemimpin nasional dalam berpidato dan tulisan-tulisan mulai banyak yang menggunakan bahasa Indonesia yang saat itu masih disebut bahasa Melayu.

1.2     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Sastra Indonesia?
2.      Bagaiamana Pertumbuhan Sastra Indonesia?

1.3     Tujuan
1.      Untuk mengetahui Sejarah Sastra Indonesia.
2.      Untuk mengetahui Pertumbuhan Sastra Indonesia.



BAB II
SEJARAH DAN PERTUMBUHAN SASTRA INDONESIA

2.1  Sejarah Sastra Indonesia
A.    Pengertian Sejarah
Sejarah adalah suatu ilmu yang mempelajari atau membicarakan tentang peristiwa-peristiwa penting. Peristiwa-peristiwa itu dibicarakan terurut secara kronologis sehingga tergambar adanya sebuah perkembangan . Dengan kata lain, sejarah adalah peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
B.     Pengertian Sastra
Istilah sastra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “tulisan” atau “karangan”. Sastra (su-sastra) biasanya diartikan sebagai karangan dengan bahasa yang indah dan isi yang baik. Bahasa yang indah artinya bahasa yang mampu menimbulkan kesan dan menghibur pembacanya. Isi yang baik artinya berguna dan mengandung nilai pendidikan. Indah dan baik ini menjadi fungsi sastra yang terkenal dengan istilah dulce et utile (Horatius). Dengan kata lain,dulce et utile bermakna bahwa sastra itu menyenangkan dan memberikanpencerahan. Bentuk fisik-lahiriah sastra yang disebut karya sastra merupakanhasil kreativitas sastrawan yang berisikan ungkapan perasaan dan pikiranmereka (Bagyo S. (ed.), 1986: 7). Karya sastra yang dihasilkan para sastrawan telah melalui perjalanan sejarah yang cukup lama. Sejarah tersebut dirumuskan dalam periodisasi dan angkatan untuk membedakan sekaligus mengelompokkannya. Ketika kita membahas masalah perkembangan sastra Indonesia, bayangan kita seringkali tertuju pada angkatan-angkatan sastra Indonesia, seperti angkatan 1920-an atau disebut juga angkatan Balai Pustaka; angkatan 1933, yang disebut juga angkatan Pujangga Baru; angkatan 1945 yang disebut angkatan Pendobrak, dan angakatn 1966 atau disebut juga angkatan Orde Lama. Penting disimak bahwa, perkembangan sastra Indonesia berbanding lurus dengan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia,terutama pendidikan formal, dimulai tahun 1900-an, yaitu ketika penjajah Belanda membolehkan bangsa boemi poetra (sebutan untuk orang Indonesia oleh Belanda) memasuki pendidikan formal. Tentu saja pendidikan formal saat itu adalah milik penjajah Belanda. Istilah periodisasi sering dikacaukan dengan angkatan. Untuk itu, istilah tersebut akan diterangkan secara sepintas. Periode (periodisasi) perkembangan sastra adalah kesatuan waktu yang ditandai dengan suatu sistem norma tertentu, atau dengan suatu pembeda yang menggunakan kurun waktu, atau angka tahun.
Adapun angkatan adalah pembagian zaman dalam kesusastraan yang didasarkan pada persamaan konsepsi atau ide yang hendak diperjuangkan. Konsep atau ide tersebut tersirat dalam karya sastra yang dihasilkan, meskipun tidak dikemukakan secara formal, dalam suatu manifestasi atau rumusan konsep.
Secara umum sastra Indonesia dibagi menjadi Sastra Indonesia Lama dan Sastra Indonesia Baru. Antara periode Sastra Indonesia Lama (klasik, tradisional) dan Sastra Indonesia Baru dimunculkan Sastra Indonesia Peralihan oleh sebagian ahli. Berikut ini akan diterangkan Sastra Indonesia Lama dan Sastra Indonesia Baru.
Sastra Indonesia Lama
Hampir semua ahli sepakat bahwa Sastra Indonesia (Melayu) Lama tidak diketahui kapan munculnya. Sebagian ahli berpendapat bahwa Sastra Indonesia Lama adalah periode sastra yang dimulai pada masa prasejarah (sebelum suatu bangsa mengenal tulisan) dan berakhir pada masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Tetapi setidaknya dapat dikatakan bahwa Sastra Indonesia Lama muncul bersamaan dengan dimulainya peradaban bangsa Indonesia, namun kapan bangsa Indonesia itu ada juga masih menjadi perdebatan. Yang tidak disepakati oleh para ahli adalah kapan sejarah sastra Indonesia memasuki masa baru. Ada yang berpendapat bahwa Sastra Indonesia Lama berakhir pada masa Kebangkitan Nasional (1908), masa Balai Pustaka (1920), dan masa munculnya Bahasa Indonesia (1928). Adapula yang berpendapat bahwa Sastra Indonesia Lama berakhir pada masa Abdullah bin Abdulkadir Munsyi (1800-an). Ada juga yang mengatakan bahwa sastra Indonesia Lama berakhir pada masa Balai Pustaka. Sastra Indonesia Lama tidak dapat digolong-golongkan berdasarkan jangka waktu tertentuseperti halnya Sastra Indonesia Baru - karena hasil-hasil dari sastra masa ini umumnya tidak mencantumkan waktu dan nama pengarangnya.
Sastra Indonesia Baru
Sastra Indonesia Baru ditandai dengan digunakannya bahasa Indonesia. Sebagai cerminan pikiran dan perasaan manusia - dalam hubungannya dengan sastra - bahasa menggambarkan suatu keadaan atau gambaran dalam pikiran yang disajikan dengan penuh imajinasi atau pencitraan. Sastra Indonesia Baru (modern) lahir bersamaan dengan mulai menyingsingnya fajar nasionalisme Indonesia. Jatuh bangunnya sastra Indonesia modern tidakterlepas dari dialektika sejarah terbangunnya nasionalisme itu sendiri. Dalam konteks ini, tafsir atas nasionalisme tentu tidak terlepas dari dominasimkekuasaan suatu rezim politik sebagai bagian dari praktik politik hegemoni.
Dalam konteks ini pun Sastra Indonesia Baru  lebih bersifat dinamis, individualistis, realistis. Para sastrawan pada zaman ini lebih berani meniru, menyatakan, menggambarkan isi hatinya seperti sastrawan Eropa. Sastra Indonesia Baru, menurut beberapa ahli, dimulai dari munculnya roman- roman terbitan Balai Pustaka tahun 1900-an. Oleh karena itu, dibandingkan dengan sastra dunia, sejarah Sastra Indonesia Baru (SI) hingga sekarang terhitung masih sangat muda. SI setidaknya didasarkan pada lahirnya Balai Pustaka sebagai tonggak politik sastra Indonesia. Munculnya unsur nasionalisme dalam karya sastra tanah air, menjamurnya karya sastra dengan tema sosial masyarakat modern, serta mulai ditinggalkannya ciri sastra lama menjadi ciri SI.
Perjalanan sejarah SI dibagi sesuai dengan pertimbangan momentum perubahan sosial dan politik (Rosidi, 1968). Pembagian yang lebih rinci dengan angka tahun menjadi  1900--933, 1933--942, 1942--945, 1945--953, 1953--961, dan 1961--1967 dengan warna masing-masing sebagaimana tampak pada sejumlah karya-karya sastra yang penting. Kemudian pada periode 1961-1967 tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pembacaan sastra.

2.2     Pertumbuhan Sastra Indonesia
Kesustraan bangsa Indonesia dari waktu ke waktu terus mengalami pertumbuhan. Dari pertumbuhan sastra Indonesia, dibagi menjadi beberapa periode. Periode-periode sastra ini erat hubungannya dengan angkatan-angkatan sastra  yang menempati periode-periode tersebut.
1.      Periodesasi menurut H.B. Jassin
a.       Sastra Melayu
b.      Sastra Indonesia Modern, dibagi menjadi 3 angkatan:
1.      Angkatan ‘20
Angkatan ‘20 memiliki karakteristik:
a.)    Pertentangan paham antara kaum tua- kaum muda.
b.)    Soal kawin paksa, permaduan
c.)    Masih bersifat kedaerahan
d.)   Bahasa percakapan dimasukkan diantara baca tulisan
e.)    Ada terdapat analisa jiwa
f.)     Cerita bermain pada zaman sekarang
g.)    Kebangsawanan pikiran kontra kebangsawanan darah
h.)    Pandangan hidup baru kontra moral lama
i.)      Puisinya sebagian besar terdiri syair-syair
j.)      Bersifat dikdatis
2.      Angkatan ‘33 atau pujangga baru
Angkatan ‘33 atau pujangga baru memiliki karakteristik:
a.)    Angkatan ini telah bebas menentukan maksudnya sendiri
b.)    Menghadapi masyarakat kota dengan masalah-masalah kota
c.)    Karya mereka bercorak kebangsaan
d.)   Segala keberagamannya menjadi pengikat dalam cita-cita nasional[1]
3.      Angkatan ‘45
a.)    Karya sastranya membahas kenyataan sehari-hari
b.)    Bahasa sajak bukan lagi bahasa buku, tetapi bahasa sehari-hari
c.)    Banyak sajak yang melukiskan perasaan dan semangat pemuda.
2.      Periodesasi menurut Nugroho Notosusanto
Keseluruhan sastra Indonesia:
A.    Sastra Melayu Lama
B.     Sastra Indonesia Modern, dibagi menjadi 2 macam:
1.)    Masa Kebangkitan (1920-1945), terdiri dari 3 periode:
a.       Periode ‘20
b.      Periode ‘33
c.       Periode ‘42
2.)    Masa Perkembangan (1945-sekarang) , terdiri dari 2 periode:
a.       Periode ‘45
b.      Periode ‘50
Menurut Nugroho, ciri-ciri intrinsik karya sastra Indonesia pada setiap periode mengikuti H.B. Jassin. Hanya mengenai angkatan ’50 dikatakan olehnya bahwa sastrawan pada periode ’50 jangkauan orientasinya meliputi seluruh dunia.
3.      Periodesasi menurut buku berjudul Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya
Buku tersebut menyatakan bahwa periodesasi hendaknya didasarkan pada ciri-ciri intrinsik karya sastra, yaitu ciri struktur estetik dan ciri ekstra estetiknya dan juga bahwa sesungguhnya periode-periode sastra Indonesia saling tumpang tidih. Sebab sebelum periode angkatan sastra lenyap sudah muncul angkatan sastra yang lain, dan angkatan sastra yang lama masih menunjukkan integrasi dan eksistensinya. Maka gambaran periodenya sebagai berikut:
1.         Periode Balai Pustaka (1920-1940)
Jenis sastra periode ini terutama adalah roman, drama, drama bersajak kumpulan sajak, kumpulan prosa, drama bersajak. Puisi berupa syair dan pantun disisipkan dalam roman-roman untuk memberi nasehat.
Karya-karya sastra pada periode ini diantaranya ialah roman Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis (1920) karya Merari Siregar, roman Sitti Nurbaya (1922) karya Merari Siregar, buah tangan Muhammad Yamin berupa drama Ken Arok dan Ken Dedes (1934), kumpulan sajak Indonesia Tumpah Darahku (1928), karya Roestam Effendi drama bersajak Bebasari (1924).
a.    Ciri-ciri Struktur Estetik
1.)    Gaya bahasanya mempergunakan perumpamaan klise, pepatah-pepatah, dan peribahasa.
2.)    Alur roman sebagian besar alur lurus, ada juga yang menggunakan alur maju mundur seperti Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis.
3.)    Teknik pennokohan dan perwatakannya banyak menggunakan analisis langsung dan diskripsi fisik.
4.)    Menggunakan sudut pandang orang ketiga.
5.)    Banyak sisipan yang tidak langsung berhubungan dengan inti cerita seperti uraian adat, dongeng, syair, pantu, nasehat.
6.)    Bersifat dikdatis.
7.)    Bercorak romatis.
b.    Ciri-ciri Ekstra Estetik
1.)    Permasalahan adat.
2.)    Pertentangan paham kaum muda dan kaum tua.
3.)    Latar cerita umumnya latar daerah, pedesaan.
4.)    Masih bersifat kedaerahan
2.         Periode Pujangga Baru (1930-1945)
Pada periode ini puisi lebih dominan, cerpen mulai banyak ditulis, roman atau novel bukan jenis sastra yang utama. Karya sastra pada periode ini diantaranya roman Layar Terkembang (1936) buah tangan St. Takdir Alisjahbana, kumpulan sajak Rindu Dendam (1934) buah karya D.E. Tatengkeng, kumpulan cerpen Teman Duduk (1936) karya M. Kasim.
a.    Ciri-ciri Struktur Estetiknya
1.)    Pusinya bukan hanya pantun dan syair lagi, ada jenis baru yaitu soneta berasal dari Barat dan balada tetapi rupanya belum dikenal betul.
2.)    Pemilihan katanya diwarnai kata-kata indah.
3.)    Bahasa kiasan utama ialah perbandingan.
4.)    Gaya sajaknya diafan atau polos, hampir tidak menggunakan kata-kata yang ambigu.
5.)    Rima merupakan salah satu sarana kepuitisan.
b.    Ciri-ciri Ekstra Estetiknya
1.)    Masalahnya bersangkut paut dengan kehidupan masyarakat kota.
2.)    Ide nasionalisme dan cita-cita kebangsaan banyak mewarnai karya sastra Pujangga Baru.
3.)    Bersifat didaksis.
3.         Periode Angkatan ’45 (1940-1955)
Pada periode ini berkembang jenis sastra novel, drama, lebih-lebih puisi dan cerita pendek meluas. Periode ini keadaan perang mempengaruhi penciptaan sastra, karena penderitaan hidup bangsa Indonesia di zaman penjajahan Jepang. Karya sastra pada periode ini diantaranya kumpulan sajak berjudul Deru Campur Debu (1949) karya Chairil Anwar, kumpulan drama berjudul Taufan di atas Asia (1949) oleh Abu Hanifah, cerpen berjudul Nasib Volontaire (1941) oleh H.B. Jassin, roman berjudul Atheis oleh Achdiat K. Mihardja, kumpulan cerpen berjudul Subuh (1950) oleh Pramoedya Ananta Toer, roman berjudul Tak Ada Esok (1950) karya Mochtar Lubis.
a.    Ciri-ciri struktur Estetik
1.)    Puisi bebas, tak terikat pembagian bait, jumlah baris, dan rima.
2.)    Gayanya ekspresionisme.
3.)    Aliran dan gaya realisme.
4.)    Diksi untuk mencerminkan pengalaman batin.
5.)    Bahasa kiasan yang dominan metafora dan simbolik.
6.)    Gaya ironi dan sinisme menonjol.
b.    Ciri-ciri Ekstra Estetik
1.)    Individualisme menonjol.
2.)    Mengekspresikan kehidupan batin.
3.)    Masalah kemasyarakatan seperti golongan kaya dan golongan miskin.
4.)    Filsafat eksistensialisme mulai dikenal.
4.         Periode Angkatan ‘50 (1950-1970)
Pada periode ini terjadi pergantian situasi dan suasana tanah air dari perang ke perdamaian. Muncul partai-partai politik dengan membawa lembaga kebudayaan, seperti PNI mempunyai Lembaga Kebudayaan Nasional, Partai Islam mempunyai Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia, PKI mempunyai Lembaga Kebudayaan Masyarakat. Maka corak kesusastraan Indonesia pada periode ini bermacam-macam.
Adapun karya sastra pada periode ini diantaranya kumpulan sajak berjudul Balada Orang-orang Tercinta (1957) karya W.S. Rendra, kumpulan cerpen berjudul Hujan Kepagian (1958) karya Nugroho Notosusanto, drama berjudul Bulan Bujur Sangkar karya Iwan Simatupang, sajak berjudul Do’a di medan Laga (1961) karya Subagio Sastrowardojo
a.    Ciri-ciri struktur estetik
1.)    Gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi cerita dan balada.
2.)    Gaya ulangan mulai berkembang.
3.)    Gaya puisi umumnya masih meneruskan karya gaya angkata ’45.
4.)    Gaya slogan dan retorik makin berkembang.
b.    Ciri-ciri ekstra estetik
1.)    Mengungkapkan masalah-masalah sosial.
2.)    Banyak mengemukakan cerita-cerita dan kepercayaan rakyat sebagai pokok-pokok sajak balada.
3.)    Cerita perang mulai berkurang.
4.)    Banyak mengemukakan pertentangan-pertentangan politik.
5.         Periode Angkatan  ’70 (1965-sekarang 1984)
Pada periode ini berkembang puisi mantra, puisi imajisme, puisi lugu, puisi lirik biasa. Karya sastra di periode ini diantaranya kumpulan sajak Taufik Ismail berjudul Tirani (1966), sajak Goenawan Muhammad berjudul Senjapun jadi Kecil, Kota pun jadi Putih (1966), drama Moh. Diponegoro berjudul Iblis, kumpulan cerpen berjudul Harmoni (1965) dan roman berjudul Terimakasih (1969) karya Ras Siregar.
a.    Ciri-ciri struktur Estetik
1.)    Puisi bergaya mantra, mempergunakan saran kepuistisan seperti pengulangan kata, kata diputus-putus, dibalik, untuk mendapatkan makna baru.
2.)    dipergunakan kata daerah secara mencolok.
3.)    Dipergunakan asosiasi-asosiasi bunyi untuk mendapat makna baru.
4.)    Puisi imajisme menggunakan teknik tak langsung berupa gambaran-gambaran atau cerita kiasan.
5.)    Puisi lugu menggunakan teknik pengungkapan secara polos  atau biasa.
6.)    Alur berbelit-belit.
7.)    Mengemukakan tanggapan-tanggapan pribadi terhadap masalah.
b.    Ciri-ciri ekstra estetik
1.)    Mengemukakan kehidupan batin religius yang cenderung mistik.
2.)    Cerita yang bersifat alegoris atau parabel.
3.)    Menuntut hak-hak asasi manusia.
4.)    Mengemukakan kritik sosial atas kesewenang-wenangan kaum yang lemah.
5.)    Mengedepankan kebudayaan lokal.

Pembedaan antara periode satu dengan yang lain bedasarkan adanya perbedaan norma-norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi masing-masing zaman.[2]












BAB III
PENUTUP
3.1     Simpulan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sastra disini memiliki beberapa jenis, diantaranya adalah Sastra Lama dan Sastra Modern. Sastra lama yaitu sastra yang hidup dan berkembang pada masa melayu, disebut sastra melayu klasik karena pada saat itu belum mengenal tulisan dan masih berupa lisan. Sedangkan sastra modern yaitu sastra yang berkembang setelah masa sastra lama dan memilikiperubahan-perubahan yang cukup mendasar terhadap sifat dan ciri khas sastra yang digunakan masyarakat.
Pertumbuhan Sastra Indonesia dari waktu ke waktu terus mengalami pertumbuhan. Dari pertumbuhan sastra Indonesia, dibagi menjadi beberapa periode. Periode-periode sastra ini erat hubungannya dengan angkatan-angkatan sastra  yang menempati periode-periode tersebut. Periodesasi hendaknya didasarkan pada ciri-ciri intrinsik karya sastra, yaitu ciri struktur estetik dan ciri ekstra estetiknya dan juga bahwa sesungguhnya periode-periode sastra Indonesia saling tumpang tidih. Periode-periode tersebut diantaranya: Periode Balai Pustaka (1920-1940); Periode Podjangga Baroe (1930-1945); Periode Angkata ’45 (1940-1955); Periode Angkatan ’50 (1950-1970); Periode Angkatan ’70 (1965-sekarang 1984)
3.2     Saran
1.      Kepada para pembaca diharapkan setelah memahami materi tentang Sejarah dan Pertumbuhan Sastra Indonesia, dapat dijadikan materi pengantar untuk mudah memahami materi-materi selanjutnya.
2.      Setelah mempelajari bab ini, diharapkan dapat sadar bahwa betapa pentingnya pemahaman awal mengenai sastra Indonesia yang sangat mempengaruhi masyarakat di segala aspek kehidupan dan membangun kecintaan akan karya sastra negeri sendiri.




DAFTAR PUSTAKA

Rachmat Djoko Pradopo. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Bandung. Pustaka Belajar.
Ajip Rosidi. 1998. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung. Binacipta.
Rasyidi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Bina Cipta
Yudiono (24 November 2007). Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.



[1]Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Bandung.:Pustaka Belajar, 1995), halaman 14-15.
[2]Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia ( Bandung: Binacipta, 1998), halaman 12.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Mengharap Ampunan-Mu Copyright © 2009 Flower Garden is Designed by Ipietoon for Gossip Celebrity Flower Image by Dapino