SEJARAH DAN PERTUMBUHAN SASTRA
INDONESIA
Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah
“ Bahasa
Indonesia II”
Disusun oleh
kelompok 1:
Kelas 3-A
1.
Hanik
Hamdiyah (D07213014)
2.
Alfiyatul
Khikmah (D07214001)
3.
Miftahul
Ilmiyah (D77214038)
Dosen Pengampu:
Irfan Bachtiar, M.Pd.I
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kepulauan Nusantara dihuni oleh beratus-ratus suku bangsa, yang tentunya
mempunyai sejarah, kebudayaan, adat-istiadat, dan bahasa khasnya masing-masing
daerah. Pada abad ke-16 dan ke-17 kepulauan nusantara menjadi jajahan bangsa
Eropa yang berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan timbulnya perlawanan-perlawanan
terhadap penjajah karena merasa menjadi hamba di tanah air sendiri. Hal ini
menumbuhkan api nasionalisme dengan menghilangkan segala perbedaan yang
kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah yang dinamai Sumpah
Pemuda.
Pada abad ke-20 muncul kebijakan Belanda bernama politik etis yang hendak
menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi di seluruh wilayah Indonesia.
Sebagai reaksi terhadap cita-cita itu, Indonesia kian giat memperjuangkan
bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Para pemimpin nasional dalam berpidato
dan tulisan-tulisan mulai banyak yang menggunakan bahasa Indonesia yang saat
itu masih disebut bahasa Melayu.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Sastra Indonesia?
2. Bagaiamana Pertumbuhan Sastra Indonesia?
1.3
Tujuan
1. Untuk mengetahui Sejarah Sastra Indonesia.
2. Untuk mengetahui Pertumbuhan Sastra Indonesia.
BAB
II
SEJARAH
DAN PERTUMBUHAN SASTRA INDONESIA
2.1 Sejarah
Sastra Indonesia
A. Pengertian Sejarah
Sejarah
adalah suatu ilmu yang mempelajari atau membicarakan tentang
peristiwa-peristiwa penting. Peristiwa-peristiwa itu dibicarakan
terurut secara kronologis sehingga tergambar adanya sebuah perkembangan .
Dengan kata lain, sejarah adalah peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
B. Pengertian
Sastra
Istilah sastra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “tulisan”
atau “karangan”. Sastra (su-sastra) biasanya diartikan sebagai karangan dengan
bahasa yang indah dan isi yang baik. Bahasa yang indah artinya bahasa yang
mampu menimbulkan kesan dan menghibur pembacanya. Isi yang baik artinya berguna
dan mengandung nilai pendidikan. Indah dan baik ini menjadi fungsi sastra yang
terkenal dengan istilah dulce et utile (Horatius). Dengan kata lain,dulce et
utile bermakna bahwa sastra itu menyenangkan dan memberikanpencerahan. Bentuk
fisik-lahiriah sastra yang disebut karya sastra merupakanhasil kreativitas
sastrawan yang berisikan ungkapan perasaan dan pikiranmereka (Bagyo S. (ed.), 1986:
7). Karya sastra yang dihasilkan para sastrawan telah melalui perjalanan
sejarah yang cukup lama. Sejarah tersebut dirumuskan dalam periodisasi dan
angkatan untuk membedakan sekaligus mengelompokkannya. Ketika kita membahas
masalah perkembangan sastra Indonesia, bayangan kita seringkali tertuju pada
angkatan-angkatan sastra Indonesia, seperti angkatan 1920-an atau disebut juga
angkatan Balai Pustaka; angkatan 1933, yang disebut juga angkatan Pujangga
Baru; angkatan 1945 yang disebut angkatan Pendobrak, dan angakatn 1966 atau
disebut juga angkatan Orde Lama. Penting disimak bahwa, perkembangan sastra
Indonesia berbanding lurus dengan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia.
Pendidikan di Indonesia,terutama pendidikan formal, dimulai tahun 1900-an, yaitu
ketika penjajah Belanda membolehkan bangsa boemi poetra (sebutan untuk orang
Indonesia oleh Belanda) memasuki pendidikan formal. Tentu saja pendidikan
formal saat itu adalah milik penjajah Belanda. Istilah periodisasi sering
dikacaukan dengan angkatan. Untuk itu, istilah tersebut akan diterangkan secara
sepintas. Periode (periodisasi) perkembangan sastra adalah kesatuan waktu yang
ditandai dengan suatu sistem norma tertentu, atau dengan suatu pembeda yang
menggunakan kurun waktu, atau angka tahun.
Adapun
angkatan adalah pembagian zaman dalam kesusastraan yang didasarkan pada
persamaan konsepsi atau ide yang hendak diperjuangkan. Konsep atau ide tersebut
tersirat dalam karya sastra yang dihasilkan, meskipun tidak dikemukakan secara
formal, dalam suatu manifestasi atau rumusan konsep.
Secara umum
sastra Indonesia dibagi menjadi Sastra Indonesia Lama dan Sastra Indonesia
Baru. Antara periode Sastra Indonesia Lama (klasik, tradisional) dan Sastra
Indonesia Baru dimunculkan Sastra Indonesia Peralihan oleh sebagian ahli.
Berikut ini akan diterangkan Sastra Indonesia Lama dan Sastra Indonesia Baru.
Sastra Indonesia Lama
Hampir semua
ahli sepakat bahwa Sastra Indonesia (Melayu) Lama tidak diketahui kapan
munculnya. Sebagian ahli berpendapat bahwa Sastra Indonesia Lama adalah periode
sastra yang dimulai pada masa prasejarah (sebelum suatu bangsa mengenal
tulisan) dan berakhir pada masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Tetapi
setidaknya dapat dikatakan bahwa Sastra Indonesia Lama muncul bersamaan dengan
dimulainya peradaban bangsa Indonesia, namun kapan bangsa Indonesia itu ada
juga masih menjadi perdebatan. Yang tidak disepakati oleh para ahli adalah
kapan sejarah sastra Indonesia memasuki masa baru. Ada yang berpendapat bahwa
Sastra Indonesia Lama berakhir pada masa Kebangkitan Nasional (1908), masa
Balai Pustaka (1920), dan masa munculnya Bahasa Indonesia (1928). Adapula yang
berpendapat bahwa Sastra Indonesia Lama berakhir pada masa Abdullah bin
Abdulkadir Munsyi (1800-an). Ada juga yang mengatakan bahwa sastra Indonesia
Lama berakhir pada masa Balai Pustaka. Sastra Indonesia Lama tidak dapat
digolong-golongkan berdasarkan jangka waktu tertentuseperti halnya Sastra
Indonesia Baru - karena hasil-hasil dari sastra masa ini umumnya tidak
mencantumkan waktu dan nama pengarangnya.
Sastra Indonesia Baru
Sastra
Indonesia Baru ditandai dengan digunakannya bahasa Indonesia. Sebagai cerminan
pikiran dan perasaan manusia - dalam hubungannya dengan sastra - bahasa
menggambarkan suatu keadaan atau gambaran dalam pikiran yang disajikan dengan
penuh imajinasi atau pencitraan. Sastra Indonesia Baru (modern) lahir bersamaan
dengan mulai menyingsingnya fajar nasionalisme Indonesia. Jatuh bangunnya
sastra Indonesia modern tidakterlepas dari dialektika sejarah terbangunnya
nasionalisme itu sendiri. Dalam konteks ini, tafsir atas nasionalisme tentu
tidak terlepas dari dominasimkekuasaan suatu rezim politik sebagai bagian dari
praktik politik hegemoni.
Dalam
konteks ini pun Sastra Indonesia Baru
lebih bersifat dinamis, individualistis, realistis. Para sastrawan pada
zaman ini lebih berani meniru, menyatakan, menggambarkan isi hatinya seperti
sastrawan Eropa. Sastra Indonesia Baru, menurut beberapa ahli, dimulai dari
munculnya roman- roman terbitan Balai Pustaka tahun 1900-an. Oleh karena itu,
dibandingkan dengan sastra dunia, sejarah Sastra Indonesia Baru (SI) hingga
sekarang terhitung masih sangat muda. SI setidaknya didasarkan pada lahirnya
Balai Pustaka sebagai tonggak politik sastra Indonesia. Munculnya unsur
nasionalisme dalam karya sastra tanah air, menjamurnya karya sastra dengan tema
sosial masyarakat modern, serta mulai ditinggalkannya ciri sastra lama menjadi
ciri SI.
Perjalanan
sejarah SI dibagi sesuai dengan pertimbangan momentum perubahan sosial dan
politik (Rosidi, 1968). Pembagian yang lebih rinci dengan angka tahun
menjadi 1900--933, 1933--942, 1942--945,
1945--953, 1953--961, dan 1961--1967 dengan warna masing-masing sebagaimana
tampak pada sejumlah karya-karya sastra yang penting. Kemudian pada periode
1961-1967 tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan
martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai
kemungkinan pembacaan sastra.
2.2
Pertumbuhan Sastra Indonesia
Kesustraan bangsa Indonesia dari waktu ke waktu terus mengalami pertumbuhan.
Dari pertumbuhan sastra Indonesia, dibagi menjadi beberapa periode.
Periode-periode sastra ini erat hubungannya dengan angkatan-angkatan
sastra yang menempati periode-periode
tersebut.
1. Periodesasi menurut H.B. Jassin
a. Sastra Melayu
b. Sastra Indonesia Modern, dibagi menjadi 3
angkatan:
1. Angkatan ‘20
Angkatan ‘20 memiliki karakteristik:
a.) Pertentangan paham antara kaum tua- kaum
muda.
b.) Soal kawin paksa, permaduan
c.) Masih bersifat kedaerahan
d.) Bahasa percakapan dimasukkan diantara
baca tulisan
e.) Ada terdapat analisa jiwa
f.) Cerita bermain pada zaman sekarang
g.) Kebangsawanan pikiran kontra
kebangsawanan darah
h.) Pandangan hidup baru kontra moral lama
i.) Puisinya sebagian besar terdiri
syair-syair
j.) Bersifat dikdatis
2. Angkatan ‘33 atau pujangga baru
Angkatan ‘33 atau pujangga baru memiliki karakteristik:
a.) Angkatan ini telah bebas menentukan
maksudnya sendiri
b.) Menghadapi masyarakat kota dengan
masalah-masalah kota
c.) Karya mereka bercorak kebangsaan
d.) Segala keberagamannya menjadi pengikat
dalam cita-cita nasional[1]
3. Angkatan ‘45
a.) Karya sastranya membahas kenyataan
sehari-hari
b.) Bahasa sajak bukan lagi bahasa buku,
tetapi bahasa sehari-hari
c.) Banyak sajak yang melukiskan perasaan dan
semangat pemuda.
2. Periodesasi menurut Nugroho Notosusanto
Keseluruhan sastra Indonesia:
A. Sastra Melayu Lama
B. Sastra Indonesia Modern, dibagi menjadi 2
macam:
1.) Masa Kebangkitan (1920-1945), terdiri
dari 3 periode:
a. Periode ‘20
b. Periode ‘33
c. Periode ‘42
2.) Masa Perkembangan (1945-sekarang) ,
terdiri dari 2 periode:
a. Periode ‘45
b. Periode ‘50
Menurut Nugroho, ciri-ciri intrinsik
karya sastra Indonesia pada setiap periode mengikuti H.B. Jassin. Hanya
mengenai angkatan ’50 dikatakan olehnya bahwa sastrawan pada periode ’50
jangkauan orientasinya meliputi seluruh dunia.
3. Periodesasi menurut buku berjudul Beberapa
Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya
Buku tersebut menyatakan bahwa
periodesasi hendaknya didasarkan pada ciri-ciri intrinsik karya sastra, yaitu
ciri struktur estetik dan ciri ekstra estetiknya dan juga bahwa sesungguhnya
periode-periode sastra Indonesia saling tumpang tidih. Sebab sebelum periode
angkatan sastra lenyap sudah muncul angkatan sastra yang lain, dan angkatan
sastra yang lama masih menunjukkan integrasi dan eksistensinya. Maka gambaran
periodenya sebagai berikut:
1.
Periode Balai Pustaka (1920-1940)
Jenis sastra periode ini terutama adalah roman, drama, drama bersajak
kumpulan sajak, kumpulan prosa, drama bersajak. Puisi berupa syair dan pantun
disisipkan dalam roman-roman untuk memberi nasehat.
Karya-karya sastra pada periode ini diantaranya ialah roman Azab dan
Sengsara Seorang Anak Gadis (1920) karya Merari Siregar, roman Sitti Nurbaya
(1922) karya Merari Siregar, buah tangan Muhammad Yamin berupa drama Ken Arok
dan Ken Dedes (1934), kumpulan sajak Indonesia Tumpah Darahku (1928), karya
Roestam Effendi drama bersajak Bebasari (1924).
a. Ciri-ciri Struktur Estetik
1.) Gaya bahasanya mempergunakan perumpamaan
klise, pepatah-pepatah, dan peribahasa.
2.) Alur roman sebagian besar alur lurus, ada
juga yang menggunakan alur maju mundur seperti Azab dan Sengsara Seorang Anak
Gadis.
3.) Teknik pennokohan dan perwatakannya
banyak menggunakan analisis langsung dan diskripsi fisik.
4.) Menggunakan sudut pandang orang ketiga.
5.) Banyak sisipan yang tidak langsung
berhubungan dengan inti cerita seperti uraian adat, dongeng, syair, pantu,
nasehat.
6.) Bersifat dikdatis.
7.) Bercorak romatis.
b. Ciri-ciri Ekstra Estetik
1.) Permasalahan adat.
2.) Pertentangan paham kaum muda dan kaum
tua.
3.) Latar cerita umumnya latar daerah,
pedesaan.
4.) Masih bersifat kedaerahan
2.
Periode Pujangga Baru (1930-1945)
Pada periode ini puisi lebih dominan, cerpen mulai banyak ditulis, roman
atau novel bukan jenis sastra yang utama. Karya sastra pada periode ini
diantaranya roman Layar Terkembang (1936) buah tangan St. Takdir Alisjahbana,
kumpulan sajak Rindu Dendam (1934) buah karya D.E. Tatengkeng, kumpulan cerpen
Teman Duduk (1936) karya M. Kasim.
a. Ciri-ciri Struktur Estetiknya
1.) Pusinya bukan hanya pantun dan syair
lagi, ada jenis baru yaitu soneta berasal dari Barat dan balada tetapi rupanya
belum dikenal betul.
2.) Pemilihan katanya diwarnai kata-kata
indah.
3.) Bahasa kiasan utama ialah perbandingan.
4.) Gaya sajaknya diafan atau polos, hampir
tidak menggunakan kata-kata yang ambigu.
5.) Rima merupakan salah satu sarana
kepuitisan.
b. Ciri-ciri Ekstra Estetiknya
1.) Masalahnya bersangkut paut dengan kehidupan
masyarakat kota.
2.) Ide nasionalisme dan cita-cita kebangsaan
banyak mewarnai karya sastra Pujangga Baru.
3.) Bersifat didaksis.
3.
Periode Angkatan ’45 (1940-1955)
Pada periode ini berkembang jenis sastra novel, drama, lebih-lebih puisi
dan cerita pendek meluas. Periode ini keadaan perang mempengaruhi penciptaan
sastra, karena penderitaan hidup bangsa Indonesia di zaman penjajahan Jepang.
Karya sastra pada periode ini diantaranya kumpulan sajak berjudul Deru Campur
Debu (1949) karya Chairil Anwar, kumpulan drama berjudul Taufan di atas Asia
(1949) oleh Abu Hanifah, cerpen berjudul Nasib Volontaire (1941) oleh H.B.
Jassin, roman berjudul Atheis oleh Achdiat K. Mihardja, kumpulan cerpen
berjudul Subuh (1950) oleh Pramoedya Ananta Toer, roman berjudul Tak Ada Esok
(1950) karya Mochtar Lubis.
a. Ciri-ciri struktur Estetik
1.) Puisi bebas, tak terikat pembagian bait,
jumlah baris, dan rima.
2.) Gayanya ekspresionisme.
3.) Aliran dan gaya realisme.
4.) Diksi untuk mencerminkan pengalaman
batin.
5.) Bahasa kiasan yang dominan metafora dan
simbolik.
6.) Gaya ironi dan sinisme menonjol.
b. Ciri-ciri Ekstra Estetik
1.) Individualisme menonjol.
2.) Mengekspresikan kehidupan batin.
3.) Masalah kemasyarakatan seperti golongan
kaya dan golongan miskin.
4.) Filsafat eksistensialisme mulai dikenal.
4.
Periode Angkatan ‘50 (1950-1970)
Pada periode ini terjadi pergantian situasi dan suasana tanah air dari
perang ke perdamaian. Muncul partai-partai politik dengan membawa lembaga
kebudayaan, seperti PNI mempunyai Lembaga Kebudayaan Nasional, Partai Islam
mempunyai Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia, PKI mempunyai Lembaga
Kebudayaan Masyarakat. Maka corak kesusastraan Indonesia pada periode ini
bermacam-macam.
Adapun karya sastra pada periode ini diantaranya kumpulan sajak berjudul
Balada Orang-orang Tercinta (1957) karya W.S. Rendra, kumpulan cerpen berjudul
Hujan Kepagian (1958) karya Nugroho Notosusanto, drama berjudul Bulan Bujur
Sangkar karya Iwan Simatupang, sajak berjudul Do’a di medan Laga (1961) karya
Subagio Sastrowardojo
a. Ciri-ciri struktur estetik
1.) Gaya epik (bercerita) berkembang dengan
berkembangnya puisi cerita dan balada.
2.) Gaya ulangan mulai berkembang.
3.) Gaya puisi umumnya masih meneruskan karya
gaya angkata ’45.
4.) Gaya slogan dan retorik makin berkembang.
b. Ciri-ciri ekstra estetik
1.) Mengungkapkan masalah-masalah sosial.
2.) Banyak mengemukakan cerita-cerita dan
kepercayaan rakyat sebagai pokok-pokok sajak balada.
3.) Cerita perang mulai berkurang.
4.) Banyak mengemukakan
pertentangan-pertentangan politik.
5.
Periode Angkatan
’70 (1965-sekarang 1984)
Pada periode ini berkembang puisi mantra, puisi imajisme, puisi lugu,
puisi lirik biasa. Karya sastra di periode ini diantaranya kumpulan sajak
Taufik Ismail berjudul Tirani (1966), sajak Goenawan Muhammad berjudul Senjapun
jadi Kecil, Kota pun jadi Putih (1966), drama Moh. Diponegoro berjudul Iblis,
kumpulan cerpen berjudul Harmoni (1965) dan roman berjudul Terimakasih (1969)
karya Ras Siregar.
a. Ciri-ciri struktur Estetik
1.) Puisi bergaya mantra, mempergunakan saran
kepuistisan seperti pengulangan kata, kata diputus-putus, dibalik, untuk
mendapatkan makna baru.
2.) dipergunakan kata daerah secara mencolok.
3.) Dipergunakan asosiasi-asosiasi bunyi
untuk mendapat makna baru.
4.) Puisi imajisme menggunakan teknik tak
langsung berupa gambaran-gambaran atau cerita kiasan.
5.) Puisi lugu menggunakan teknik
pengungkapan secara polos atau biasa.
6.) Alur berbelit-belit.
7.) Mengemukakan tanggapan-tanggapan pribadi
terhadap masalah.
b. Ciri-ciri ekstra estetik
1.) Mengemukakan kehidupan batin religius
yang cenderung mistik.
2.) Cerita yang bersifat alegoris atau
parabel.
3.) Menuntut hak-hak asasi manusia.
4.) Mengemukakan kritik sosial atas
kesewenang-wenangan kaum yang lemah.
5.) Mengedepankan kebudayaan lokal.
Pembedaan antara periode satu dengan yang
lain bedasarkan adanya perbedaan norma-norma umum dalam sastra sebagai pengaruh
situasi masing-masing zaman.[2]
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa sastra disini memiliki beberapa jenis, diantaranya adalah Sastra Lama dan
Sastra Modern. Sastra lama yaitu sastra yang hidup dan berkembang pada masa
melayu, disebut sastra melayu klasik karena pada saat itu belum mengenal
tulisan dan masih berupa lisan. Sedangkan sastra modern yaitu sastra yang
berkembang setelah masa sastra lama dan memilikiperubahan-perubahan yang cukup
mendasar terhadap sifat dan ciri khas sastra yang digunakan masyarakat.
Pertumbuhan Sastra Indonesia dari waktu ke waktu terus mengalami
pertumbuhan. Dari pertumbuhan sastra Indonesia, dibagi menjadi beberapa
periode. Periode-periode sastra ini erat hubungannya dengan angkatan-angkatan
sastra yang menempati periode-periode
tersebut. Periodesasi hendaknya didasarkan pada ciri-ciri intrinsik karya
sastra, yaitu ciri struktur estetik dan ciri ekstra estetiknya dan juga bahwa
sesungguhnya periode-periode sastra Indonesia saling tumpang tidih.
Periode-periode tersebut diantaranya: Periode Balai Pustaka (1920-1940);
Periode Podjangga Baroe (1930-1945); Periode Angkata ’45 (1940-1955); Periode
Angkatan ’50 (1950-1970); Periode Angkatan ’70 (1965-sekarang 1984)
3.2
Saran
1. Kepada para pembaca diharapkan setelah
memahami materi tentang Sejarah dan Pertumbuhan Sastra Indonesia, dapat
dijadikan materi pengantar untuk mudah memahami materi-materi selanjutnya.
2. Setelah mempelajari bab ini, diharapkan
dapat sadar bahwa betapa pentingnya pemahaman awal mengenai sastra Indonesia yang
sangat mempengaruhi masyarakat di segala aspek kehidupan dan membangun
kecintaan akan karya sastra negeri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Rachmat Djoko Pradopo. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode
Kritik, dan Penerapannya. Bandung. Pustaka Belajar.
Ajip Rosidi. 1998. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia.
Bandung. Binacipta.
Rasyidi,
Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Bina Cipta
Yudiono
(24 November 2007). Pengantar Sejarah Sastra Indonesia.
Jakarta: Grasindo.
0 komentar:
Posting Komentar